JabarBanten.id – Ponpes bukan hanya pusat pendidikan agama; ia adalah jembatan yang menghubungkan tradisi, budaya, dan nilai-nilai yang lestari dari generasi ke generasi.
Emha Ainun Najib bersama dengan rekan-rekan Teater Dinasti dan Bengkel Muda Surabaya (BMS) mengajak saya untuk terlibat menyelenggarakan woksyop kesenian, teater dan sastra, di Ponpes Tebu Ireng.
Menurut Emha, pimpinan Ponpes Tebu Ireng, KH. Yusuf Hasyim – RIP – yang dikenal dengan panggilan Pak Ud, pamannya Gus Dur, sudah bersedia untuk menerima dan menyediakan akomodasi.
Tentu saja saya dengan antusias siap untuk ikut terlibat. Beberapa tahun sebelumnya, 1983-84 saya berulang kali menemui Pak Ud dalam kaitannya dengan penerbitan buku “Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Nahdlatul Ulama” karya Cak Choriul Anam – RIP.
Buku yang akan diterbitkan oleh penerbit Jatayu Solo pada tahun 1984 itu skripsi Cak Anam di IAIN Sunan Ampel, Surabaya.
Saya mengetahui tentang skripsi yang menarik itu dari Saiff Bakham, rekan Cak Anam di Perwakilan MBM Tempo di Surabaya. Saiff Bakham pada tahun 1970-an seorang aktor Teater Alam di Yogyakarta.
Untuk melengkapi penerbitan buku itu saya mengunjungi, sowan kepada Pak Ud untuk mencari foto-foto lama dari peristiwa NU dan figur-figur kaum Nahdliyin pada periode awal berdirinya NU.
Di samping itu saya mengunjungi beberapa ponpes di Jombang, diantaranya Ponpes Den Anyar, dan beberapa ponpes lainnya.
Beberapa kali saya mengunjungi Ponpes Tebu Ireng dan setiap kunjungan saya bermalam atas kebaikan Pak Ud, sebuah kamar disediakan.
Setiap kunjungan ke Ponpes Tebu Ireng saya selalu merasa pakewuh karena Pak Ud selalu melayani kebutuhan saya, bahkan ikut mengantar saya berkeliling ke beberapa ponpes di Jombang.
Padahal saya inginnya bersama Lukman Hakim dan Mudzakir, dua asisten Pak Ud. Tapi Pak Ud selalu menyediakan diri, dan “menjadi sopir” colt station mengantar saya.
Berkah dari kebesaran hati Pak Ud mengantar saya, maka semua pintu ponpes terbuka selebar-lebarnya, saya bisa melihat foto-foto dan membuat copy melalui kamera Nikon F2 dan Pentax Black Body K- 1000.
Ada suatu peristiwa yang sungguh membuat saya makin pakewuh. Suatu hari, saya berangkat dengan bis dari Solo pada jam 21.00, tiba di Jombang dan turun di pertigaan dekat Ponpes Darul Ulum, dengan becak, karena belum ada ojek waktu itu, saya menuju Ponpes Tebu Ireng.
Dalam surat saya kepada Gus Dur yang menggambarkan tentang posisi dan fungsi wayang kulit dan dalang yang kian digusur oleh politik kebudayana rezim Orde Baru, saya bertanya, apakah ada kemungkinan ponpes dan NU untuk menciptakan kondisi alternatif?
Pertanyaan saya sesungguhnya berangkat dari pemahaman umum sebagai warga, bahwa wayang kulit dan posisi dalang merupakan produk dan makna bagi masyarakat pedesaan, dan ponpes serta NU memiliki posisi yang strategis dalam wilayah pedesaan.
Dengan logika yang sederhana saya menarik suatu konklusi, kenapa tidak ponpes dan NU mencari jalan alternatif dalam dunia tradisi diantara praktek politik kebudayaan rezim Orde baru yang bukan hanya arogan tapi sudah hegemonik.
